ASMA’ KONTAK ENERGI ALAM SEMESTA

Berfungsi untuk :
Menyerap energi Alam Semesta (Bumi, Air, Angin, Matahari, Bulan).
Memperkuat energi supranatural diri pribadi.
Pengisian Energi Alam ke benda pusaka.
Melipatgandakan Tenaga Dalam.
Memperkuat Daya Cipta.
Melatih Kepekaan Rasa.
Sebenarnya ilmu ini rencananya ingin saya posting setelah menyelesaikan tulisan Teknik Olah Nafas Tenaga Dalam. Namun sampai saat ini belum selesai juga (hehe..) tetapi tidak mengapa, bagi para pemula anggap saja tulisan sebagai bahan referensi untuk menambah wawasan.
Bagi anda yang pernah mengikuti latihan Tenaga Dalam pasti tidak asing dengan latihan Menyerap Energi Metafisis Alam Semesta. Tujuannya adalah untuk meningkatkan power kekuatan dari Tenaga Dalam yang telah dimiliki. Hasil dari Tenaga Dalam yang semakin mapan ini kemudian dimanfaatkan untuk berbagai keperluan misalnya untuk benteng pagar diri ghaib, penyembuhan prana, mendongkrak aura kewibawaan dan kharisma, untuk mengobati gangguan JIN jahat (bertempur melawan JIN), mengisi benda agar bertuah (memancarkan energi ghaib) dan berbagai tujuan lain sesuai dengan niat pemiliknya.
Sebenarnya siapa saja bisa melakukan Penyerapan Energi Alam Semesta ini. Tentu saja ada ilmunya. Berikut ini saya ijasahkan Ilmu Menyerap Energi Alam Semesta. Bisa diamalkan oleh siapa saja, baik pemula maupun yang pernah belajar Tenaga Dalam.
Cukup dengan mengheningkan diri kemudian berniat merapal Asma’ Kontak dibawah ini maka medan Energi Alam Semesta akan terserap kedalam tubuh atau kedalam benda yang dijadikan media.
“Sir Daya Gaib, Daya Sirku, Daya Ciptaku, Anasir … ”
Titik-titik diisi elemen alam yang ingin diserap, misalnya Bumi, Langit, Air, Angin, Api (matahari). Tekniknya dengan menggunakan olah pernafasan.
  • Jika diserap kedalam tubuh, maka akan meningkatkan vitalitas tubuh, badan menjadi segar dan sehat, tidak mudah lelah, disisi spiritual badan akan memancarkan energi supranatural yang besar, sebagai benteng dari serangan magis dan gangguan JIN jahat.
  • Jika dipusatkan dibagian badan tertentu, misalnya wajah, tangan, dada atau yang lain, maka energi alam akan menumbuhkan pancaran aura kharismatik, inner beauty dan aura kewibawaan serta kekebalan.
  • Jika ditransfer kedalam suatu benda, maka benda tersebut akan berubah menjadi pusaka alias memiliki pancaran energi yang menonjol hingga bisa mempengaruhi orang yang membawa benda tersebut. Misalnya dapat menambah wibawa, kharisma, pagar diri ghaib untuk diri pribadi atau untuk membentengi rumah, sawah, kantor dsb, dan lain-lain sesuai dengan niat saat pengisian energi alam ini.
Kajian Ilmu
Ilmu ini terlahir dari pemahaman terhadap misteri energi alam semesta. Yang pada prinsipnya semua benda yang ada di alam semesta ini adalah berenergi. Segala makhluk di alam ini memiliki getaran energi dengan spesifikasi tertentu. Baik makhluk yang masih hidup, benda tak hidup maupun benda mati. Energi ini tidak bisa musnah, ia akan bersatu dengan sesuatu yang memberikan media. Kayu, batu, air, fosil, tembok, bangunan seisinya, kain, jasad binatang dan jasad badan manusia.
Energi yang ada di alam tersebut bisa diserap untuk dimanfaatkan sesuai kebutuhan manusia. Secara umum kita setiap hari menyerap energi Alam semesta melalui pernafasan, menyerap energi panas Matahari, energi dingin Bulan, energi tumbuhan dan energi Tanah. Dengan demikian kita bisa hidup dengan sehat dan penuh vitalitas.
Dalam dunia kebatinan, para spiritualis dengan sengaja menyerap energi Alam semesta yang lebih besar. Kemudian dihimpun dan dimampatkan (kompres) dalam wadah dirinya atau di transfer dalam suatu benda. Tujuannya untuk menambah power (kekuatan) energi supranatural yang dimilikinya. Semakin banyak energi yang berhasil dihimpun maka semakin kuat ilmu ghaibnya.
Anasir ini meliputi Air (Musa as), Angin dan Eter (Sulaiman as), Api (Ibrahim as), Bumi (Daud as), Langit  dan Eter (Muhammad SAW). Dalam dunia Hizib yang terkenal dengan menghimpun anasir ini misalnya adalah Hizib Bahr dari Syekh Imam Abul Hassan As-Shadzili.

ASMA’ KURUNG

Sihir adalah perbuatan yang diluar dari adat kebiasaan yang sengaja dikerjakan dengan jalan bermacam-macam cara (diluar ajaran agama) dengan mendayagunakan bantuan dari JIN dan syetan.
Sihir bisa pula berarti tipuan atau khayalan yang hakekatnya tidak ada sama sekali, sebagaimana yang biasa dikerjakan oleh para tukang sulap. Sedangkan “santet” merupakan bagian dari sihir. Istilah santet lebih dikenal sebagai perbuatan untuk menyakiti atau membinasakan orang lain melalui ilmu ghaib.
Tak sedikit orang yang celaka akibat kekuatan jahat ini. Sehingga bagi orang awam, sihir dan santet dipandang sebagai sesuatu yang sangat ditakuti. Namun karena sihir dan santet adalah batil / sesat / jahat, maka ia dapat ditangkal dengan sesuatu yang Haq (benar) yang datang dari Allah SWT.
Agar kita terhindar dari pengaruh sihir dan kejahatan magis lainnya, selain terus beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan YME, anda dapat melakukan amalan Asma Kurung yang disertai Puasa Weton.
Maksud Puasa Weton adalah puasa yang dilakukan pada hari kelahiran anda berdasarkan kalender Jawa. Misalnya Senin Pon, Rabu Wage, Jumat Legi atau lainnya. Untuk selengkapnya bisa anda simak di Kajian Puasa Weton.
AMALAN ASMA’ KURUNG
  • Lakukan Puasa saat tiba Weton anda.
  • Pada malam harinya, tidak boleh tidur hingga terbit matahari (tetapi boleh makan apa saja).
  • Setelah sholat Subuh, bacalah Ayat suci berikut ini (Quran S. At Taubah ayat 128-129) terus menerus hingga matahari terbit :
“Laqod jaa-akuum rosulum min anfusikum Aziizun Alaihi maa Anittum Hariishun Alaikum bil mu’miniina Ro-uufur rohim.
Fain tawallaw faqul Hasbiyallahu la ilaha illa Huwa alaihi tawakaltu wa huwa Robul Arsyil Azhiim.”
 
Karena khasiat yang dirasakan oleh para pengamal ayat suci ini ternyata dapat mengurungkan segala niat jahat. Maka amalan ini lalu dikenal sebagai Asma Kurung.
Contoh mengamalkan :
Misalnya Weton anda jatuh Selasa Kliwon. Maka pada hari Senin sore (sebelum Maghrib) anda bersuci dengan cara mandi Jinabat (mandi besar). Kemudian terhitung mulai Maghrib itu sampai Matahari terbit dihari Selasa diusahakan tidak tidur. Tetapi boleh makan-minum dan bersahur. Isilah malam tersebut dengan memperbanyak ibadah, dzikir atau tafakur (semedi). Kemudian hari Selasa itu anda berpuasa seperti puasa Ramadhan.
Catatan :
  • Di hari-hari selanjutnya ayat tersebut cukup dibaca 7 kali di Pagi dan Sore (setelah Subuh dan Maghrib).
  • Arti ayat diatas : “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”.
  • Bagi anda yang nonmuslim Rafal Doa Keselamatan bisa diganti lafal doa sesuai ajaran agama anda masing-masing.
  • Jika diamalkan secara rutin, kita akan dijauhkan dan terlindungi dari sihir dan kejahatan magis. Dikaruniai ketentraman dan keharmonisan keluarga serta diberi umur panjang yang barokah. InsyaAllah.

INTI BELAJAR ILMU GHAIB

Bagi yang merasa sering gagal dalam belajar ilmu ghaib hal itu bisa jadi disebabkan karena belum mengerti inti ajaran dari suatu amalan ilmu ghaib. Jangan berpikiran seperti anak TK yang manja, merasa bila sudah ikut perguruan ini-itu lalu akan langsung bisa. Guru hanyalah seorang pembimbing. Faktor keberhasilan kembali kepada kesungguhan diri masing-masing. Bagi yang telah senior cukup dengan memahami serat Syech Siti Jenar ini saja sudah cukup menjadi petunjuk menuju jalan keberhasilan.
Sajati jatining ngelmu,
Lungguhe cipta pribadi,
Pustining pangestinira,
Gineleng dadya sawiji,
Wijanging ngelmu dyatmika,
Neng kahanan eneng-ening.
Artinya kurang lebih adalah : Hakekat ilmu yang sejati, Terletak pada cipta pribadi, Maksud dan tujuannya, Disatukan adanya, Lahirnya ilmu pamungkas, Dalam keadaan sunyi, jernih.
Khasanah dunia ghaib hanya bisa ditembus dengan kondisi MEDITATIF. Artinya kondisi yang tenang, hening, suwung yang meliputi RAGA, PIKIRAN dan JIWA. Untuk mencapai kondisi tersebut perlu sarana latihan (riyadhoh). Misalnya dengan cegah makan (puasa), cegah tidur (melek), tekun membaca Dzikir Doa-mantra, tekun dalam olah nafas prana dan tekun Meditasi. Semua itu tentunya ada baiknya dibimbing oleh seorang Guru, atau berijazah.
Ketenangan RAGA bisa dicapai dengan sarana riyadhoh cegah makan, cegah bebaban (mengendalikan nafsu seksual), cegah berbuat jahat (nafsu angkara murka) semua itu terangkum dalam amalan yang disebut PUASA.
Ketenangan PIKIRAN bisa dicapai dengan sarana riyadhoh intopeksi diri, mengikuti kajian ilmu, mendatangi tempat-tempat bernilai spiritual, melakukan meditasi di sawah nan hijau, pantai dan gunung.
Ketenangan JIWA bisa dicapai dengan sarana riyadhoh membaca wirid Doa-Mantra, sembahyang, takafur, bermeditasi, melakukan Tarian Jiwa dan latihan berlalu jujur.
Semua itu dirangkum menjadi satu kesatuan ritual (lelaku), maka akan menumbuhkan keadaan tenang dan pasrah yang akan menuntun kedalam keheningan.
Tidak ada gunanya anda mampu berpuasa berhari-hari, rajin membaca wirid doa-mantra siang-malam bila semua itu tidak bisa menciptakan kondisi yang hening atau suwung. Semua amalan hanya sia-sia, tidak akan tembus alam ruhani, alam keghaiban. Kondisi hening tidak bisa disugestikan dengan sekedar kata hening..hening..hening. Tetapi kondisi hening adalah produk nyata dari ketenangan (kepasrahan) Raga, Pikiran dan Jiwa.  Tidak bisa direkayasa, apalagi dengan menggunakan opium, candu, narkotika seperti dalam ritual ilmu hitam, semua itu bentuk ke-fana-an semu!
Hal ini sudah dijelaskan di artikel Dunia Paranormal, Indera keenam, dan sering dibahas dalam diskusi di kolom komentar di blog RasaSejati ini. Semoga bisa menjadi renungan bersama.

WIFIQ & RAJAH

Pengertian Rajah


Dalam bahasa Arab, Rajah biasa disebut sebagai Wifiq atau wafak. Rajah adalah tulisan-tulisan yang mengandung energi ghoib, yang mana dengan kekuatan ghoib tersebut suatu Rajah dapat mempengaruhi keadaan lingkungan sekitarnya (manusia, binatang bahkan makhluk halus).
Tulisan Rajah dapat berbentuk huruf, angka, sandi, simbol dan gambar. Tulisan Rajah memang tidak seperti tulisan pada umumnya. Sebagian besar suatu Rajah hanya terdiri dari huruf-huruf dan angka-angka yang berdiri sendiri-sendiri, tidak menyusun suatu kata. Sehingga bisa dikatakan tulisan rajah tersebut tidak bisa diartikan dalam bahasa. Namun diyakini bahwa susunan huruf dan angka (rajah) tersebut mengandung atau bisa memunculkan kekuatan ghoib. Sehingga kemudian susunan tulisan-tulisan disebut Rajah.
Biasanya tulisan-tulisan tersebut merupakan tulisan kuno bernilai sejarah dan ada unsur mistisnya. Contohnya huruf Hijaiyah (Arab), huruf aksara Jawa, Cina, simbol-simbol, dan lain-lain sebagainya.
Tulisan Rajah bermacam-macam jenisnya, sesuai dengan fungsi atau kegunaannya. Maka Rajah bukanlah sembarang tulisan yang ditulis diatas selembar kertas atau kain atau media lainnya. Melainkan tulisan Rajah merupakan tulisan yang bernuansa mistis. Setiap coretan garis, simbol, sandi, gambar, huruf dan angka memiliki makna tertentu. Meski terkadang, bahkan banyak tulisan Rajah yang tidak dapat dimengerti artinya namun tulisan tersebut mempunyai makna.
Dalam Al Quran sendiri terdapat tulisan-tulisan yang oleh para ahli tafsir Quran tidak dimengerti artinya namun tetap diyakini mempunyai makna. Misalnya :
Kaaf Haa Yaa Aiin Shood, Yaasiin, Alif Lam Miim dan sebagainya.
Nampaknya Rajah lebih menekankan pada makna daripada arti. Suatu makna yang dikandungnya merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh pembuatnya. Karena rajah memang dibuat untuk membantu memenuhi hajat keinginan seseorang.
Tulisan rajah yang telah ditulis di suatu media benda (kertas, kain, kayu, batu dll) kemudian benda tersebut biasa disebut sebagai Azimat. Suatu benda yang mengandung aura magis atau mempunyai kekuatan ghoib.
Untuk menyingkap tentang arti dan makna suatu Rajah dibutuhkan ilmu dan pengetahuan khusus, yang melibatkan hati dan rasa (Spiritual). Biasanya ini hanya diketahui oleh para ahli rajah dan paranormal.

Bahagia Karena Amal Shalih


Bismillahir Rahmanir Rahiim
KEBAHAGIAAN KARENA BERAMAL SALIH DAN KESENGSARAAN KARENA INGKAR
Kamu patut tahu bahawa manusia akan termasuk kepada salah satu daripada dua golongan, golongan pertama ialah yang berada dalam kedamaian, keimanan, bahagia dalam melakukan ketaatan kepada Allah , sementara golongan kedua berada dalam keadaan tidak selamat, keraguan dan kerisauan dalam keingkaran terhadap peraturan Tuhan. Kedua-dua nilai, ketaatan dan keingkaran, ada di dalam diri seseorang. Jika kesucian, kebaikan dan keikhlasan lebih menguasai, sifat-sifat mementingkan diri akan bertukar menjadi suasana kerohanian dan bahagian diri yang ingkar akan dikalahkan oleh bahagian diri yang baik. Sebaliknya jika seseorang mengikuti hawa nafsu yang rendah dan kesenangan ego dirinya, sifat-sifat ingkar akan menguasai bahagian diri yang satu lagi untuk menjadikannya ingkar dan jahat. Jika kedua-dua sifat yang berlawanan itu sama-sama kuat diharapkan yang baik itu boleh menang, sebagaimana yang dijanjikan: “Barangsiapa kerjakan kebaikan maka baginya (ganjaran) sepuluh kali ganda, dan barangsiapa kerjakan kejahatan maka Tidaklah dibalas dia melainkan sebanyak (kejahatannya) itu, dan mereka tidak akan diniayai. (Surah An’aam, ayat 160).
Dan jika Allah kehendaki ditambah-Nya lagi ganjaran atas kebaikan. Namun orang yang kebajikan dan kejahatannya sama banyak mesti lulus perbicaraan pada hari pembalasan. Orang yang berjaya mengubah sifat mementingkan diri kepada tidak mementingkan diri, hawa nafsu yang rendah kepada cita-cita kerohanian, baginya tiada hisab, tiada catatan akan diberikan kepadanya. Dia akan memasuki syurga tanpa melalui huru hara hari kiamat. “Oleh sebab itu barangsiapa berat (timbangan) kebaikannya maka dia di dalam kehidupan (akhirat) yang sentosa” . (Surah Qari’ah, ayat 6 & 7).
Orang yang kejahatannya lebih berat daripada kebaikannya akan dihukum menurut kadar kejahatannya. Kemudian dia dikeluarkan daripada neraka, jika dia beriman, dan akan masuk syurga.
Taat dan ingkar bermakna baik dan jahat. Kedua-dua ini ada dalam diri seseorang manusia. Yang baik boleh berubah menjadi jahat dan yang jahat boleh berubah menjadi baik. Nabi s.a.w bersabda, “Orang yang kebaikan menguasainya menemui keselamatan, keimanan dan kegembiraan dan menjadi baik. Orang yang kejahatan lebih menguasai kebaikan, dia menjadi ingkar dan jahat. Orang yang menyedari kesalahannya dan bertaubat dan mengubah haluannya akan mendapati suasana ingkar akan bertukar menjadi taat dan beribadat”.
Telah menjadi ketentuan bahawa baik dan jahat, kehidupan yang diberkati bagi orang yang taat dan kesengsaraan bagi yang ingkar, adalah keadaan yang setiap orang dilahirkan dengannya. Kedua-duanya tersembunyi di dalam bakat atau keupayaan seseorang. Nabi s.a.w bersabda, “Orang yang bertuah menjadi baik adalah baik ketika di dalam kandungan ibunya, dan orang berdosa yang jahat adalah pendosa di dalam kandungan ibunya” . Begitulah keadaannya dan tiada siapa yang berhak berbincang mengenainya. Urusan takdir bukan untuk dibincangkan. Jika dibiarkan perbincangan demikian ia akan membawa kepada bidaah dan kekufuran.
Lagipun tiada siapa boleh menjadikan takdir sebagai alasan untuk membuang segala ikhtiar, semua perbuatan baik. Seseorang itu tidak boleh mengatakan, ‘Jika aku ditakdirkan menjadi baik maka aku bersusah payah membuat kebaikan sedangkan aku sudahpun diberkati’. Atau berkata, ‘Jika aku sudah ditakdirkan menjadi jahat apa gunanya aku berbuat kebaikan’. Jelas sekali pendirian demikian tidak benar. Tidak wajar mengatakan, ‘Jika keadaan aku sudah ditakdirkan pada azali apa untung atau rugi yang aku harapkan dengan usahaku sekarang’. Contoh yang baik diberikan kepada kita adalah perbandingan di antara Adam a.s dengan iblis yang dilaknat. Iblis meletakkan kesalahan kepada takdir, yang menyebabkan dia menjadi derhaka, maka dia menjadi kafir dan dibuang jauh daripada keampunan dan kehampiran Tuhan. Adam a.s mengakui kesilapannya dan memohon keampunan, menerima keampunan dari Allah dan diselamatkan.
Menjadi kewajipan bagi orang Islam yang beriman untuk tidak cuba memahami sebab-sebab yang tersimpan di dalam takdir. Orang cuba berbuat demikian akan menjadi keliru dan tidak mendapat apa-apa melainkan keraguan. Bahkan dia mungkin kehilangan keyakinan. Orang yang beriman mestilah mempercayai kepada kebijaksanaan Allah yang mutlak. Segala yang manusia lihat terjadi pada dirinya di dalam dunia ini mesti ada alasan tetapi alasan itu bukan untuk difahami melalui lojik manusia kerana ia berdasarkan kebijaksanaan Tuhan. Di dalam kehidupan ini bila kamu temui pencacian terhadap Tuhan, kemunafikan, keingkaran, penipuan dan lain-lain yang jahat, jangan biarkan perkara-perkara tersebut menggoncangkan iman kamu. Ketahuilah Allah Yang Maha Tinggi dengan kebijaksanaan mutlak bertanggungjawab kepada semua perkara dan Dia lakukan apa yang kelihatan sebagai tidak baik sebagai menyatakan kekuasaan-Nya yang mutlak. Penzahiran kekuasaan yang demikian mungkin menyebabkan ada orang yang tidak tertahan dan menganggapnya sebagai tidak baik tetapi ada rahsia besar di sebaliknya yang tiada makhluk yang tahu melainkan Rasulullah s.a.w. Ada kisah orang arif berdoa kepada Tuhannya, “Wahai Yang Maha Suci, semua telah diatur oleh Engkau. Takdirku adalah kepunyaan-Mu. Ilmu yang Engkau letakkan padaku adalah milik-Mu”. Ketika itu dia mendengar jawapan tanpa suara tanpa sepatah perkataan, keluar dari dalam dirinya mengatakan, “Wahai hamba-Ku. Segala yang engkau katakan adalah kepunyaan Yang Maha Esa dan dalam keesaan. Ia bukan milik hamba-hamba”. Hamba yang beriman itu berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah menzalimi diriku, aku bersalah, aku berdosa”. Selepas pengakuan itu sekali lagi dia mendengar dari dalam dirinya, “Dan Aku mempunyai keampunan terhadap dirimu. Aku telah hapuskan kesalahan-kesalahan kamu, Aku telah ampun kamu”.
Biar mereka yang beriman tahu dan bersyukur yang segala kebaikan yang mereka lakukan bukanlah dari mereka tetapi melalui mereka, kejayaan datangnya dari Pencipta. Bila mereka bersalah biar mereka tahu bahawa kesalahan mereka datangnya dari diri mereka sendiri, kepunyaan mereka dan mereka boleh bertaubat. Kesalahan datangnya dari keegoan mereka yang batil. Jika kamu memahami ini dan mengingatinya kamu termasuk ke dalam golongan yang disebut Allah: “Dan yang apabila telah berbuat kejelikan atau menganiayai diri-diri mereka maka mereka ingat kepada Allah dan mereka minta diampunkan dosa-dosa mereka – bukankah tidak ada yang mengampunkan dosa-dosa melainkan Allah? Dan mereka tidak berkekalan di atas dosa yang mereka kerjakan, dan mereka tahu. Mereka itu balasannya ialah keampunan dari Tuhan mereka, syurga-syurga yang mengalir padanya sungai-sungai, mereka akan kekal padanya, dan alangkah baiknya balasan bagi orang-orang yang beramal”. (Surah Imraan, ayat 135 & 136).
Adalah baik bagi orang yang beriman mengakui yang dirinya sendirilah punca semua kesalahan dan dosanya. Itulah yang akan menyelamatkannya. Itu lebih baik dan lebih benar daripada meletakkan kesalahan dirinya kepada Yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Pencipta semua perkara.
Bila Nabi s.a.w bersabda, “Telah diketahui bila seseorang itu berada di dalam kandungan ibunya samada dia akan menjadi baik atau pendosa” baginda maksudkan ‘dalam kandungan ibu’ itu adalah empat anasir yang melahirkan semua kekuatan atau tenaga dan kebolehan lahiriah. Dua daripada anasir tersebut adalah tanah dan air yang bertanggungjawab kepada pertumbuhan keyakinan dan pengetahuan, melahirkan kehidupan dan lahir dalam hati sebagai tawaduk (kerendahan diri). Dua anasir lain ialah api dan angin yang bertentangan dengan tanah dan air – membakar, membinasa, membunuh. Kudrat Tuhan yang menyatukan anasir-anasir yang berlawanan dan berbeza menjadi satu. Bagaimana air dan api boleh wujud bersama? Bagaimana cahaya dan kegelapan boleh terkandung di dalam awan? “Dia yang mengunjukkan kepada kamu kilat untuk menakutkankan dan kerana harapan, dan Dia jadikan mega yang berat. Dan petir itu beribadat dengan memuji Tuhannya, dan malaikat juga, lantaran takut kepada-Nya, dan Dia kirim halilintar dan Dia kenakannya kepada sesiapa yang Dia kehendaki…”. (Surah ar-Ra’d, ayat 12 & 13). Satu hari wali Allah Yahya bin Mua’adh ar-Razi ditanya, “Bagaimana mengenali Allah?’ Dia menjawab, “Melalui gabungan yang bertentangan”.
Pertentangan termasuk pada, dan sebenarnya keperluan bagi, memahami sifat-sifat Allah. Dengan menghadapkan diri kepada hakikat Ilahi seseorang menjadi cermin yang membalikkan kebenaran itu, juga sifat Yang Maha Perkasa dibalikkan. Dalam diri manusia terkandung seluruh alam maya. Sebab itu dia dipanggil penggabung yang banyak. Allah menciptakan manusia dengan dua tangan-Nya, tangan kemurahan-Nya dan tangan keperkasaan-Nya, keperkasaan dan kekuasaan. Jadi, manusia adalah cermin yang menunjukkan kedua-dua belah, yang kasar serta tebal dan yang halus serta indah.
Semua nama-nama Ilahi menyata pada manusia. Semua makhluk yang lain hanya sebelah sahaja. Allah menciptakan iblis dan keturunannya dengan sifat kekerasan-Nya. Dia ciptakan malaikat dengan sifat kemurahan-Nya. Nilai-nilai kesucian dan kebaktian yang berterusan terkandung dalam kejadian malaikat, sementara iblis dan keturunannya yang diciptakan dengan sifat kekerasan-Nya, mempunyai nilai kejahatan, kerana itu iblis menjadi takabur, dan bila Allah perintahkan sujud kepada Adam dia ingkar.
Oleh kerana manusia mempunyai kedua-dua ciri alam tinggi dan rendah, dan Allah telah memilih utusan-utusan dan wali-wali-Nya dari kalangan manusia, mereka tidak bebas daripada kesilapan. Nabi-nabi dipelihara dari dosa-dosa besar tetapi kesilapan kecil harus berlaku pada mereka. Wali-wali pula tidak terjamin dipelihara daripada dosa tetapi adalah dikatakan wali-wali itu hampir dengan Tuhan, mencapai makam kesempurnaan, mereka masuk ke bawah perlindungan Tuhan daripada dosa-dosa besar.
Syaqiq al-Baqi berkata, “Terdapat lima tanda kebenaran: perangai yang lemah lembut dan lembut hati, menangis kerana menyesal, mengasingkan diri dan tidak peduli tentang dunia, tidak bercita-cita tinggi, dan memiliki rasa hati (gerak hati atau intuisi). Tanda-tanda pendosa juga lima ; keras hati, mempunyai mata yang tidak pernah menangis, mencintai dunia dan kesenangannya, bercita-cita tinggi, tidak bermalu dan tidak ada rasa atau gerak hati”.
Nabi s.a.w meletakkan empat nilai pada orang yang baik-baik, “Boleh dipercayai dan menjaga apa yang diamanahkan kepadanya dan mengembalikannya. Menepati janji. Bercakap benar, tidak berbohong. Tidak kasar dalam perbincangan dan tidak menyakitkan hati orang lain”. Baginda s.a.w juga memberitahu empat tanda pendosa, “Tidak boleh dipercayai dan merosakkan amanah yang diberikan kepadanya, mungkir janji, menipu, suka bertengkar, memaki apabila berbincang dan menyakitkan hati orang lain” . Seterusnya pendosa tidak dapat memaafkan kawan-kawannya. Ini tanda tiada iman kerana kemaafan menjadi tanda utama orang beriman. Allah memerintahkan rasul-Nya: “Berilah maaf, dan suruhlah mereka (manusia) berbuat kebaikan, dan berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Surah A’raaf, ayat 199).
Perintah ‘maafkanlah’ bukan hanya tertuju kepada Rasulullah s.a.w seorang sahaja. Ia mengenai semua orang dan tentu sahaja termasuk mereka yang beriman dengan Rasulullah s.a.w. Perkataan ‘maafkanlah’ bermakna jadikan tabiat memafkan, jadikan sifat atau peribadi. Sesiapa yang ada sifat pemaaf menerima satu daripada nama-nama Allah – ar-Rauf – Yang Memaafkan. “Barangsiapa memaafkan dan membereskan maka ganjarannya (adalah) atas (tanggungan) Allah”. (Surah Syura, ayat 40).
Ketahuilah ketaatan kepada Allah bertukar menjadi ingkar, kejahatan dan dosa menjadi kebaikan, tidak berlaku dengan sendiri, tetapi dengan rangsangan, pengaruh, tindakan serta usaha diri sendiri. Nabi s.a.w bersabda, “Semua anak dilahirkan muslim. Ibu bapanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Setiap orang ada bakat untuk menjadi baik atau jahat, boleh memiliki sifat-sifat baik dan buruk dalam masa yang sama. Jadi, adalah salah menghukum seseorang atau sesuatu sebagai sepenuhnya baik atau buruk. Tetapi benar jika dikatakan seseorang itu lebih banyak kebaikannya daripada kejahatannya ataupun sebaliknya.
Ini bukan bermakna manusia masuk syurga tanpa amalan baik, juga bukan dia dihantar ke neraka tanpa amalan buruk. Berfikir cara demikian bertentangan dengan prinsip Islam. Allah menjanjikan syurga kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal salih dan diancam-Nya orang-orang yang berdosa dengan azab neraka. “Barangsiapa berbuat baik maka (adalah) untuk kebaikan dirinya dan barangsiapa berbuat jahat maka untuk dirinya. Kemudian kepada Tuhan kamulah kamu akan dikembalikan”. (Surah Jaasiaah, ayat 15).
“Di hari ini dibalas setiap jiwa dengan apa yang dia telah usahakan. Tidak ada kezaliman pada hari ini. Sesungguhnya Allah cepat menghitung”. (Surah Mukmin, ayat 17).
“Kerana apa juga amal yang baik yang kamu sediakan untuk diri kamu nanti kamu dapati (ganjaran)nya di sisi Allah”. (Surah Baqaraah, ayat 110).

Syariat,Tarekat,Marifat, Dan Hakikat


Bismillahir Rahmanir Rahiim

Syariat

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa agama yang suci lagi penuh kelapangan dan kemudahan serta syari’at yang lengkap dan menjamin manusia dalam kehidupan bersih lagi mulia dan menyampaikan mereka kepuncak ketinggian dan kesempurnaan. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh Risalah Islam ialah membersihkan dan mensucikan jiwa dengan jalan mengenal Allah serta beribadat kepada-Nya dan mengokohkan hubungan antar sesama manusia serta menegakkannya diatas dasar kasih sayang, persamaan dan keadilan, hingga dengan demikian tercapailah kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Mengerjakan syari’at itu diartikan sebagai mengerjakan amal badaniah yang menyangkut dari segala hukum-hukum atau aturan-aturan misalnya ; hukum shalat, hukum puasa, hukum zakat, hukum haji dan lain-lain. Tegasnya bahwa syari’at itu ialah peraturan-peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagai dasar pegangan, Qur’an menyebutkan :
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syariat) dan jalan (manhaj) yang terang.” (Q.S. al-Maa-idah: 48)
Difinisi syari’at secara terminologi, diantaranya ;
1. Menurut Mahmud Syaltut  : “ Syari’at adalah hukum-hukum (tata aturan) yang diciptakan oleh Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya didalam hubungannya kepada Allah, alam semesta, dan keseluruhan hidup “.
2. Menurut At-Tahanawi : “ Syariat adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah yang dibawa oleh salah satu nabi-Nya termasuk Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang berkaitan dengan cara berbuat yang disebut Far’iyyah Amaliyah yang didalamnya terhimpun dalam Ilmu Fiqih, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang disebut dengan Ashliyyah atau I’tiqadiyyah yang didalamnya terhimpun dalam Ilmu Kalam “.
Kedua definisi tentang syari’at tersebut sesungguhnya memberikan suatu kejelasan bahwa syari’at adalah merupakan doktrin Ilahi tanpa campur tangan sama sekali dari manusia. Manusia tidak diberi hak sedikitpun untuk membuat syari’at itu. Manusia hanya diberi kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah disyari’atkan kepadanya, berkewajiban untuk memegang teguh aturan-aturannya, sebab dengan adanya syari’at itu  agar manusia menjadi bahagia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam kehidupan kerohanian (tasawwuf) dan orang yang akan berjalan menuju Allah, syari’at adalah langkah awal untuk memasuki pintu-pintu menuju pada arah kesempurnaan. Dengan demikian kesempurnaan tidak akan tercapai tanpa melalui pintu pertama yaitu Syari’at.  Jadi, Ilmu Tasawwuf yang benar harus berpangkal dari syari’at yang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Sufi Syeikh Abdul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi  : “ Ajaran-ajaranku ini diikat kuat dengan kitab dan sunnah. Barangsiapa yang tidak menjaga Al-Qur’an dan  Al-Hadits maka itu tidak boleh diikuti dalam urusan ini (tasawwuf) sebab ilmu kami ini diikat dengan kitab dan sunnah “.
Begitu juga Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata : “ Ketahuilah wahai anak-anakku, mudah-mudahan Tuhan memberikan taufiq kepada kami dan engkau dan semua ummat Islam, aku wasiatkan kepada kamu bahwa engkau tetap menjalankan syari’at dan memelihara batas-batasnya. Ketahuilah wahai anak-anakku, bahwa thariqat kami ini didasarkan atas al-Qur’an dan as-Sunnah “.
Kemudian Syeikh Ibrahim An-Nasharbadzi, berkata : “ Asal atau dasar ajaran ini (tasawwuf) adalah menetapi  kitab dan sunnah, meninggalkan hawa nafsu dan bid’ah, berpegang pada imam-imam, mengikuti ulama salaf, meninggalkan sesuatu yang diadakan oleh orang-orang belakangan dan berdiri diatas jalan yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu”.
Imam Ghazali menegaskan : “ Ketahuilah bahwasanya orang-orang yang menuju jalan Allah adalah sedikit, sedangkan orang-orang yang mengaku-ngaku banyak. Tanda pertama adalah semua perbuatannya yang bersifat ikhtiyariyah adalah menepati ukuran syarak, berdiri diatas ketentuan pengajaran syarak., baik dalam sikap mendatangkan atau mengeluarkan, maju atau mundur karena menempuh jalan tasawwuf adalah suatu hal yang tidak meungkin dilaksanakan kecuali apabila sudah menjalankan kemuliaan-kemuliaan syari’at. Dan seorang tidak akan sampai pada jalan tasawwuf kecuali orang-orang yang membiasakan atau melaksanakan dengan tekun terhadap sunnah-sunnah. Maka bagaimanakah akan mencapai jalan sufi seorang yang melupakan (melengahkan) fardhu-fardhu dan padahal seseorang yang menuju pada jalan Tuhan itu berpaling dari dunia dengan sungguh-sungguh. Andaikata orang-orang menyamakan orang sufi (dengan yang lain) maka akan binasalah alam ini “.
Dalam syari’at, apabila seseorang mengerjakan shalat dan sudah ada wudhu, telah menghadap ke Kiblat, ber-takbiratul ihram, membaca Fatihah, rukuk dan sujud dan sampai dengan salam atau dengan kata lain sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun sholat oleh syari’at sudah dianggap shalatnya telah syah.
Tujuan utama syari’at itu ialah membangun kehidupan manusia atas dasar amar ma’ruf dan nahi munkar. Ma’ruf dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu :  Fardhu ‘ain, Sunnat (mustahab)Mubah (harus). Sedangkan yang munkar dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu :  Haram dan Makruh.
Petunjuk-petunjuk tersebut di atas memberi pegangan yang kuat bagi setiap manusia untuk dapat memahami dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar dan mana yang salah. Petunjuk-petunjuk itu mengikat manusia sebagai kewajiban moril dalam segala sikap hidupnya.
Dalam mengerjakan perkara wajib, sunnat, kebaikan, kebenaran, dianggap sebagai suatu kewajiban moril untuk mengerjakannya yang kelak akan mendapat pahala dan balasannya ialah Surga.
Kemudian dalam mengerjakan perkara yang haram, makruh, kemaksiatan atau kejahatan, semuanya itu dipandang sebagai dosa dan balasannya ialah Neraka.
Peraturan-peraturan yang diatur oleh syariat seperti tersebut di atas, adalah atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam untuk keselamatan manusia. Tetapi menurut ahli Sufi dan kaum Thariqat, bahwa syari’at itu baru merupakan tingkat pertama dalam perjalanan menuju kepada Allah.
Sebagaimana dalam Ilmu Tasawwuf diterangkan bahwa apabila Syariat dan Thariqat itu sudah dapat dikuasai maka lahirlah Hakikat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal, sedang tujuan terakhir ialah Ma’rifat yaitu mengenal Allah yang sebenar-benarnya, serta mencintai-Nya dengan sebaik-baiknya. Syariat ialah pengenalan jenis perintah (hukum dan aturan yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah) dan Hakekat ialah pengenalan pemberi perintah. Demikianlah, sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Imam Ghazali : “ Jalan ini yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah memerlukan tanjakan-tanjakan bathin. Hal ini perlu mengosongkan bathin manusia dari hal-hal yang merusak dan kemudian mengisinya dengan dzikrullah atau ingat kepada Allah. Tanjakan-tanjakan itu, dimulai dari satu tingkat kemudian selanjutnya ke tingkat yang lebih tinggi (tahap demi tahap).”

Tarekat/thariqat

Thariqat menurut bahasa artinya “jalan (way)”, “cara (methode)”,”suatu sistem kepercayaan (system of belief)”, “garis”, “kedudukan”, dan “agama”.
Kata “thariqat” disebutkan Allah dalam Al-Qur’an sebanyak 9 (sembilan) kali, dengan mengandung beberapa arti ,diantaranya sebagai berikut :
1)  Q.S. An-Nisa’ 168 :
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka.”
2)  Q.S. An-Nisa’ 169 :
“Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
3)  Q.S. Thaha 63 :
“Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.”
Ayat ini menerangkan kedatangan Nabi Musa as dan Harun ke Mesir, akan menggantikan bani Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebagian ahli tafsir mengartikan “thariqat” dalam ayat ini dengan “keyakinan” (agama). Menurut Ibnu Manzhur (630-711 H) dalam kitabnya “Lisanul Arab” jilid 12 , arti “thariqat” dalam ayat itu adalah “ar-rijalul asyraf” bermakna “tokoh-tokoh terkemuka”.
Jadi ayat itu berarti, kedatangan Nabi Musa as dan Harun as ke Mesir adalah untuk mengusir kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan jamaah atau tokoh-tokoh terkemuka kamu.
Lebih jauh Ibnu Manzhur menyatakan “hadza thariqatu qaumihi” artinya “inilah tokoh-tokoh pilihan kaumnya”.
Al-Akhfasy menyatakan “bithariqatikumul mustla” artinya “dengan sunnah dan agama kamu yang tinggi.”
“Thariqat berarti juga “al-khaththu fis-syai-i” artinya “garis pada sesuatu”.
“Thariqatul baidhi” artinya “garis-garis yang terdapat pada telur.”
“Thariqatul romal” artinya “sesuatu yang memanjang dari pasir – ma imtadda minhu.”
“Al-Laits menyatakan “thariqat” ialah “tiap garis di atas tanah, atau jenis pakaian, atau pakaian yang koyak-koyak.
Menurut Tafsir “Al-Jamal” juz 3, “bithariqatikumul mutsla” dalam Surat Thoha ayat 63 diatas , artinya “biasyrafikum” bermakna “dengan orang terkemuka kamu”. Kata “Thariqat” itu dipergunakan untuk tokoh-tokoh terkemuka, karena mereka itu menjadi ikutan dan panutan orang banyak, sebagaimana diartikan juga oleh Abu As-Su’ud.
Dalam “Mukhtarus Shihhah”, disebutkan wathariqatul qaumi ialah amatsiluhum dan jiaduhum artinya orang-orang besar dan terbaik di antara mereka.
“At-Thariqatu” diartikan juga “syariful qaumi” bermakna tokoh terhormat sesuatu kaum.
Didalam Tafsir Ibnu Katsir juz 3 dijelaskan bahwa kalimat “bi thariqatikumul mutsla” itu dengan “wa hia assihru, artinya adalah sihir.”
Ibnu Abbas r.a mengartikannya dengan “kerajaan yang mana mereka berdomisili dan mencari kehidupan di dalamnya.”
As-Sya’bi menafsirkannya dengan “Harun dan Musa memalingkan perhatian orang banyak kepada mereka.”
Mujahid mengartikannya dengan “orang-orang terkemuka, cerdas dan lanjut usia di antara mereka.”
Abu Shaleh mengartikannya dengan “orang-orang mulia di antara kamu.”
Ikrimah mengartikannya dengan “orang-orang terbaik di antara kamu.”
Qatadah menyatakan “bithariqatikumul mutsla” mereka pada masa itu adalah Bani Israil.”
Abdur Rahman bin Zaid mengartikannya dengan “billadzi antum ‘alaihi” artinya “dengan yang kamu berada di atasnya.”
Didalam Tafsir Al-Kahzin juz 3, menafsirkan ayat itu dengan “yudzhiba bi sunnatikum wa bi dinikum alladzi antum ‘alaihi.”
“Keduanya yakni Musa dan Harun akan melenyapkan sunnah dan agama yang kamu anut.”
Didalam Tafsir Al-Baghawi juz 4, dijelaskan bahwa orang Arab menyatakan “fulanun alat thariqatul mutsla” maksudnya ialah “ala shirathin mustaqim”, berarti “si Anu berada di atas jalan yang lurus.”
4)  Q.S. Thoha 77 :
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)”.”
Kata-kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “jalan” di laut dan terbelahnya Lautan Merah untuk jalan bagi Nabi Musa dan pengikut-pengikutnya. Peristiwa itu terjadi setelah ia memukulkan tongkatnya.
5)  Q.S. Thoha 104 :
“Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja”.”
Adapun yang dimaksud dengan “lurus jalannya” dalam ayat itu ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalannya di antara orang-orang berdoa itu.
6)  Q.S. Al-Ahqaf 30 :
“Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”
7)  Q.S. Al-Mukminin 17 :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit). dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).”
8)  Q.S. Al-Jin 11 :
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.”
Al-Farra’ mengartikan “kunna thariqa qidada” dalam ayat itu dengan “kunna firaqan mukhtalifah” bermakna “adalah kami beberapa kelompok yang berbeda-beda.”
9)  Q.S. Al-Jin 16 :
“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”
Kata “thariqat” dalam ayat itu berarti “agama Islam.”
Demikian beberapa makna kata “thariqat” dalam segi bahasa ( lughah ).

Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa Ma’rifat itu merupakan tujuan pokok, yakni mengenal Allah yang sebenar-benarnya dengan keyakinan yang penuh tanpa ada keraguan sedikitpun (haqqul yaqin). Menurut Imam Al-Ghazali : “ Ma’rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima keraguan terhadap Zat dan Sifat Allah SWT “. Ma’rifat terhadap Zat Allah adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud Esa, Tunggal dan sesuatu Yang Maha Agung, Mandiri dengan sendiri-Nya dan tiada satupun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui dengan sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya Al-Ghazalipun memberi kesimpulan bahwa : “ Ma’rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada “ lebih lanjut ditegaskannya bahwa : “ Ma’rifat itu adalah memandang kepada wajah Allah SWT “.
Ma’rifat itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan Hakekat. Dengan kata lain datangnya ma’rifat adalah karena terbukanya Hakekat.
Taftazany menerangkan dalam kitab “Syarhul Maqasid” : “Apabila seseorang telah mencapai tujuan akhir dalam pekerjaan suluknya (ilallah dan fillah), pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan (tauhid zat) dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan (tauhid sifat). Ketika itu orang tersebut fana (lenyap dari sifat keinsanan). Ia tidak melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah (laa maujud ilallah).”
Dalam hal ini, seperti apa yang dialami oleh Imam Al-Ghazali dimana ketika orang mengira bahwa Imam Al-Ghazali telah wusul – mencapai tujuannya yang terakhir ke derajat yang begitu dekat kepada Tuhan, maka Imam Al-Ghazali berkata : “Barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Selanjutnya Imam Al-Ghazali menerangkan : “Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada Lauhin Mahfud, yaitu hati yang sudah bersih dan murni. Tegasnya tempat untuk melihat dan Ma’rifat kepada Allah ialah hati.”
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya “Madarijus Salikin “ : “Ma’rifat adalah suatu kedudukan yang tinggi dari kedudukan orang-orang mu’min (disisi Allah) dan derajat yang tertinggi dari derajat orang-orang yang mendaki menuju alam surgawi “. Selanjutnya beliau berkata : “Bahwa seseorang tidak dikatakan memiliki ma’rifat terkecuali mengetahui Allah SWT melalui jalan yang mengantarkannya kepada Allah, mengetahui segala bentuk penyakit atau penghalang yang ada pada sisinya, yang mengakibatkan terhambatnya hubungan dirinya dengan Allah, yang mana kesemuanya itu ia saksikan dengan ma’rifatnya. Jadi, orang ma’rifat adalah orang yang mengetahui Allah melalui media nama-nama-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian berhubungan dengan Allah secara tulus, bersikap ikhlas dan sabar terhadap-Nya dalam menjauhi segala bentuk perbuatan maksiat serta meneguhkan niatnya. Berusaha untuk menanggalkan budi pekerti yang buruk serta penyakit yang merusak. Mensucikan dirinya dari berbagai bentuk kotoran dan kemaksiatan. Bersabar atas hukum-hukum Allah dalam menghadapi segala nikmat-Nya (tidak terlena), dan musibah yang menimpanya (tidak putus asa). Lalu berdakwah menuju jalan Allah berdasarkan pengetahuannya terhadap agama dan ayat-ayat-Nya. Berdakwah hanya menuju kepada-Nya dengan apa yang dibawa utusan-Nya (yaitu Nabi Muhammad SAW), dengan tidak ditambahi dengan pandangan-pandangan akal manusia yang sesat, kecendrungan-kecendrungan mereka dan hasil kreasi mereka, kaidah-kaidah dan logika-logika mereka yang menyesatkan. Dengan kata lain tidak mengukur risalah yang dibawa oleh Rasulullah dari Allah dengan kesemuanya itu diatas. Orang seperti inilah yang layak menyandang gelar sebagai orang yang ma’rifat kepada Allah, sekalipun banyak orang memberikan panggilan atau julukan yang lain kepadanya”.
Dibawah ini kami cantumkan beberapa khazanah perbendaharaan ma’rifat yang dihimpun oleh  Prof. Dr. M. Faiz Al-Math dalam bukunya yang berjudul “Puncak Ruhani Kaum Sufi” diantaranya sebagai berikut :
1.         Pendekatan kita kepada Allah adalah pendekatan ilmu,  sebab mustahil terjadi suatu pendekatan kepada kebenaran  Allah tanpa ilmu.
2.         Barangsiapa yang mengenal Allah, maka ia akan menangkap kebesaran kuasa Allah dalam segala sesuatu. Jika ia yang selalu ingat (berzikir) kepada Allah, maka ia akan melupakan yang lain kecuali Allah. Dan siapa saja yang mencintai Allah, maka ia akan mencintai dan melaksanakan ajaran-Nya dan mencampakkan ajaran lain
3.         Jika kita menginginkan pintu rahmat terbuka luas, resapilah dalam sanubari akan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu. Dan jika kita berharap agar hati kita merasa takut akan siksa, renungilah kelalaian kita dalam mengabdi kepada – Nya.
4.         Tanda-tanda seseorang ‘aulia’ yang arif adalah senantiasa memelihara rahasia antara dia dengan Allah, tangguh dalam menghadapi cobaan yang merintangi kehidupannya. Lebih-lebih pada cobaan yang diciptakan manusia ia selalu membalasnya dengan cara yang lebih bijaksana. Mengingat tingkat intelektual mereka (tiap orang) tidak sama.
5.         Barangsiapa menyadari, bahwa Allah senantiasa mengingin kan kita menjadi orang baik dan Allah lebih memahami tentang hal-hal yang mengundang kemaslahatan, maka artinya kita mampu mensyukuri nikmat Allah dan berhati tentram.
6.         Bila kita berkeinginan melacak sampai dimana derajat kita di sisi Allah, maka renungilah perbuatan kita sendiri kegigihan kita dalam beribadah dan sebagainya.
7.         Ma’rifat terbangun atas tiga fondasi ; Takut kepada Allah, Malu kepada Allah dan Cinta kepada Allah.
8.         Orang Arif adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk berdzikir, tak enggan dalam menunaikan ibadah dan senang berdialog dengan Allah. Sehingga tercetak dalam lubuk hatinya sikap enggan bercengkrama dengan hal sia-sia yang tidak dilatarbelakangi manfaat agama.
9.         Alangkah janggalnya jika seseorang yang telah menyaksikan ke Maha Kuasaan Allah, namun dia mendurhakai-Nya. Kemanakah dia akan lari untuk mencari tempat perlindu ngan, sedangkan ia menganggap bahwa Allah selalu mengawasi sepak terjangnya. Bagaimana akan berlalai-lalai jika ia merasakan nikmat Allah selalu datang silih berganti kepadanya.
10.     Kearifan laksana tanah yang bisa diinjak-injak oleh orang baik dan buruk. Ia bagaikan awan yang mampu mengayomi segala sesuatu, dan bagaikan hujan yang akan jatuh kepada teman maupun lawan.
11.     Kearifan, adalah bukanlah apa yang dapat dikeruhkan oleh segala sesuatu. Justru sebaliknya segala sesuatu akan tampak jernih.
12.     Ma’rifat kepada Allah sebagai intensitas seseorang hingga menimbulkan rasa malu dalam hatinya, rasa malu kepada Allah yang didasarkan pada rasa mengagungkan. Sebagaimana tauhid merupaka pembangkit rasa puas (rela) terhadap takdir dan timbul rasa berserah diri kepada Zat Yang Maha Pengatur.
13.     Ma’rifat, bila telah mendarah daging, maka menjadikan kehidupan seseorang akan jernih (tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencariannya akan bersih dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan segan kepadanya. Rasa takut kepada sesama mahluk akan lenyap dari hatinya dan akan cenderung untuk menyibukkan diri dalam ibadah kepada Allah.
14.     Orang yang memandang sesuatu di dunia ini dari kaca mata ma’rifatnya, walau sesuatu itu dipandang, namun yang tergambar dalam benaknya adalah kekuasaan Allah. Oleh karena itu, mata boleh menangis lantaran melihat cobaan yang menimpa, namun hatinya bersukacita lantaran dosa-dosa yang telah lampau terhapuskan oleh musibah itu.
15.     Belum merasa puas orang arif ketika ia meninggalkan dunia terhadap dua perkara, yaitu ; Meratapi terhadap kekurangan dalam beribadah dan Kurangnya banyak memuji Tuhannya.
Selanjutnya mengenai perjalanan menuju Allah sebagaimana tersebut di atas, dengan tahapan-tahapan atau tingkatan-tingkatan yaitu Syari’at, Thariqat, Hakekat, dan Ma’rifat M. S. Resa menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul “Mencari Kemurnian Tauhid (Keesaan Allah)” sebagai berikut :
  • · Syari’at adalah perbuatan (jasad) si hamba dalam melaksanakan ibadah kepada Allah harus dengan semurni-murninya ibadah.
  • · Thariqat adalah jalan (hati) untuk menuju kesuatu tujuan yang diridhai Allah, dengan hati yang bersih dan ikhlas atas segala perbuatan dan menerima cobaan Allah SWT.
  • Hakekat (nyawa) adalah tujuan untuk mencapai keridhaan Allah sehingga terbukti adanya “diri yang hakiki” yang kita hanya dapat merasakan dan sadari, bahwa diri yang yang keluar dari diri, sehingga kita dapat membuktikan dengan kesadaran yang hakiki tentang Kekuasaan Allah, tentang Rahasia Alam, tentang Alam Ghaib dan lain-lainnya.
  • · Ma’rifat (Rahasia Allah), adalah sampainya suatu tujuan sehingga terwujud suatu kenyataan dan terbukti kebe narannya (tidak diragukan lagi).
Dari bahasan tersebut diatas maka dapat kita simpulkan bahwa hamba yang akan berjalan menuju Allah swt, harus melalui tahapan-tahapan (marhalah-marhalah) yaitu melalui : Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat, atau dengan kata lain harus menempuh proses empat tahapan diantaranya :
- Pertama :  Marhalah Amal Lahir artinya berkekalan melakukan amal ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw atau disebut usaha menghias diri dengan Syari’at.
- Kedua : Marhalah Amal Bathin atau Muraqabah yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh mensucikan diri dari maksiat lahir dan bathin (takhalli) dengan cara taubat dan istighfar, memperbanyak dzikir dan shalawat, menunduk kan hawa nafsu dan menghiasi diri dengan amal terpuji/mahmudah lahir dan bathin (tahalli) atau disebut menjalankan Thariqah.
Pada tahap ini, setelah hati dan rohani telah bersih karena terisi oleh taubat dan istighfar, dzikir-dzikir dan shalawat, maka dengan rahmat Allah datanglah Nur yang dinamakan Nur Kesadaran.
- Ketiga : Marhalah Riyadhah dan Mujahadah yaitu berusaha melatih diri dan melakukan jihad lahir dan bathin untuk menambah kuatnya kekuasaan rohani atas jasmani, guna membebaskan jiwa dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa-apa yang bersifat suci, sehingga akan beroleh berbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya. Pada tahap ini, mulailah jiwa sedikit demi sedikit merasakan hal-hal yang halus serta rahasia, merasakan kelezatan dan kedamaian, dan merasakan nikmatnya iman dan taqwa dalam jiwanya. Kemudian selanjutnya datanglah kasyaf/keterbukaan mata hati, menyusul terbuka hijab sedikit demi sedikit sehingga sampailah ia kepada Nur Yang Maha Agung sebagai puncak tahap/marhalah ketiga. Nur ini dinamakan  Nur Kesiagaan yakni kesiagaan dalam muhadarah bersama Allah. Tahap ini juga disebut Tahap Hakikat.
-Keempat : Marhalah Fana-Kamil yaitu jiwa si salik telah sampai kepada martabat syuhudul haqqi bil haqqi yakni melihat hakekat kebenaran. Kemudian terbukalah dengan terang berbagai alam rahasia baginya yaitu rahasia-rahasia ke-Tuhanan/Rabbani. Dalam pada itu berolehlah dia nikmat besar dalam mendekati Hadrat Ilahi Yang Maha Tinggi. Tahap ini juga disebut dengan Tahap Ma’rifat. Dalam situasi seperti inilah dia menemukan puncak mahabbah dengan Allah, puncak kelezatan yang tiada pernah dilihat mata, tiada pernah di dengar telinga, dan tiada pernah terlintas dalam hati sanubari manusia, tidak mungkin disifati atau dinyatakan dengan kata-kata. Pada marhalah ini sebagai puncak segala perjalanan, maka datanglah Nur yang dinamakan  Nur Kehadiran.

Hakikat

“Hakikat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan, menyaksikan cahaya nan gemerlapan, dari ma’rifatullah yang penuh harapan “.
Begitulah sebuah syair dari Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha dalam bukunya yang berjudul “ Misi Suci Para sufi”. Sebuah syair yang menerangkan tentang hakikat yang sesungguhnya yang merupakan perjalanan tujuan akhir dari dua pengalaman yaitu syari’at dan thariqat. Pada anak tangga ketiga inilah tujuan akhir dari perjalanan rohani itu ada, yang sudah barang tentu ketika seorang hamba telah mencapai pada tingkat hakikat ini dia akan menemukan tujuan yang didambakan tersebut yaitu Ma’rifatullah.
Pada tingkat hakikat ini seseorang hamba akan merasakan kebenaran yang sejati dan mutlak, yang masih belum diperolehnya lewat syari’at ataupun thariqat. Memang ada suatu kebenaran dalam syari’at maupun thariqat, tetapi suatu kebenaran tersebut masih belum mencapai puncaknya. Dan kalau dikaji lebih jauh, sebenarnya dalam syari’at itupun ada suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui bahwa kesemua hukum-hukum atau aturan yang tertuang dalam syari’at itu mempunyai suatu tujuan, yaitu pendekatan kepada-Nya. Tetapi upaya dalam syari’at ini adalah baru pada tahap pertama., dimana tahap berikutnya harus ditempuh dalam jalan thariqat, kemudian setelah kedua tahap ini dilalui maka akan mencapai tingkat hakikat (kebenaran yang hakiki).
Menurut syarah Kitab Al-Hikam, Ibnu Ruslan mengemukakan pendapatnya bahwa yang dimaksudkan dengan Ilmu Hakikat itu adalah suatu Ilmu Laduni yang bersifat nurani. Ilmu tersebut itulah yang telah diajarkan kepada semua roh-roh (dialam roh) sewaktu Tuhan berbicara kepada roh-roh itu “Alastu Birobbikum” (bukankah Aku ini Tuhanmu..?) maka rohpun menjawab : “Balaa Yaa Rabbi” (benar Wahai Tuhanku). Itulah pula yang pernah diajarkan lagi kepada Nabi Adam AS sebagaimana firman-Nya “Wa ‘allama aadamal asmaa’akullaha” (Allah telah ajarkan kepada Adam semua nama-nama). Akan tetapi pengetahuan tersebut tersembunyi karena manusia pada umumnya tercurah perhatiannya kepada keadaan yang gelap yaitu hanya kepada yang lahir semata-mata, lebih mementingkan hawa nafsunya sendiri. Bilamana semua tutupan kegelapan itu telah hilang sirna kemudian menyatalah hakikat itu dengan terang dan jelas. Inilah juga yang dimaksudkan oleh Hadits Rasulullah : “Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan wariskan kepadanya ilmu yang belum pernah diketahui sebelumnya”. Allah berikan taufiq kepadanya, dihormati oleh segala makhluk dan disediakan baginya surga diakhirat.
Orang-orang yang cinta dengan dunia dan selalu dalam kungkungan hawa nafsunya, tidak akan menemukan kemantapan ilmu ini (hakikat), meskipun dalam ilmu-ilmu lain dia berhasil. Orang yang mengingkari ilmu ini, bagaimanapun juga tidak pula akan bisa merasakan keindahan ilmu ini, dan tidak mungkin mereka bisa mendapatkan “mukasyafah” (terbuka hijab/dinding) sebagaimana yang dialami oleh para Shiddiqin dan Ahlul-Muqarrabiin.
Imam Ghazali memberi gambaran bahwa :  “ Syari’at adalah menyembah kepada Allah sedangkan hakikat adalah melihat kepada-Nya “.
Kemudian ditegaskan oleh Imam Al-Qusyairiyah bahwa :
“Syari’at adalah urusan tentang kewajiban-kewajiban peribadatan sedangkan hakikat adalah melihat ke Rabbi’an “.
Thareqat dan hakekat  adalah sambung menyambung antara satu sama lain. Oleh karena itu pelaksanaan agama Islam  tidak sempurna jika tidak dikerjakan keempat-empatnya yakni ; Syari’at, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat. Maka apabila syari’at merupakan peraturan, thariqat merupakan pelaksanaan, dan hakikat merupakan tujuan pokok yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Umpamanya tentang  “bersuci/thaharah”, menurut syariat  bersih diri dengan air. Menurut thariqat bersih diri lahir dan bathin dari hawa napsu. Menurut Hakikat bersih hati dari selain Allah. Semuanya itu untuk mencapai Ma’rifat kepada Allah dengan sebenar-benarnya Ma’rifat.  Dengan contoh lain dapat kita sebutkan ; Menurut syari’at bila seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib menghadap ke kiblat, karena al-Qur’an menyebutkan : “ Hadapkanlah mukamu ke Masjidil Haram ( Ka’bah) di Mekkah”. Menurut thariqat, hati wajib menghadap kepada Allah berdasarkan ayat al-Qur’an yang menyebutkan : Fa’budunii ( sembahlah Aku ). Menurut hakikat, bahwa kita menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya. Berdasarkan sebuah hadits yang berbunyi : “ Sembahlah Tuhanmu seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Tuhan pasti melihat kamu “. Selanjutnya menurut Ma’rifat ialah mengenal Allah untuk siapa dipersembahkan segala amal ibadah itu yang dengan khusyu’ seorang hamba dalam sholat merasa berhadapan dengan Allah, ketika itu perasaan bermusyahadah berintai-intaian dan bercakap-cakap dengan Allah seolah-olah Allah berkata : “ Innanii Ana Allah “ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, maka kehadiran hati berkata : “ Anta Allah “( Engkaulah Allah). Lalu Allah berkata lagi ; “ Aqimish-sholata lizikrii “ ( Bersholatlah untuk mengingat-Ku).
Karena itu seseorang yang sedang dalam bershalat, kemudian tidak ada sama sekali kehadiran hatinya kepada Allah, maka oleh ahli-ahli thariqat dianggap shalatnya itu tidak syah.
Demikianlah apa yang dikatakan “hakikat”, ialah membuka kesempatan bagaimana Salik (orang yang berjalan menuju Allah) mencapai maksudnya, yaitu mengenal Tuhan, Ma’rifatullah dan Musyahadah Nur yang Tajalli. Dalam pada ini Imam Ghazali menerangkan : “Bahwa Tajalli itu ialah terbuka Nur cahaya yang ghaib bagi hati seseorang dan sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli ialah Mutajalli yang tidak lain daripada itulah Allah”.

SHALAT QASHAR DAN JAMA

shalat1

I. Pendahuluan
Pada makalah ini, akan dipaparkan tentang shalat qashar dan shalat jama’. Shalat qashar adalah shalat yang disingkatkan. Qashar itu artinya singkat atau pendek yaitu shalat diantara shalat fardhu yang lima, yang mestinya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Shalat yang boleh diqashar hanya shalat zuhur, ashar dan isya. Adapun magrib dan subuh tetap sebagai biasa.[1]
Sedangkan shalat jama’ adalah shalat yang dikumpulkan. Yang dimaksudkan adalah dikumpulkannya dua shalat wajib dalam waktu yang sama, misal: shalat zuhur dengan shalat ashar, shalat magrib dengan shalat isya. Shalat subuh tidak boleh dikumpulkan dengan shalat lain.[2]
Shalat qashar dan shalat jama’ adalah sama-sama dilakukan oleh orang yang sedang bepergian kesuatu tempat yang jauh (musafir), dan juga dibolehkan untuk mengqashar dan menjama’ shalatnya sekaligus (zuhur dengan ashar, masing-masing dua rakaat). Mengerjakannya boleh dengan jama’ taqdim (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu zuhur dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu magrib) dan jama takhir (shalat zuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu isya).[3] Berikut ini beberapa contoh niat shalat jama’ dan qashar sekaligus, baik secara jama’ taqdim maupun jama’ takhir:
Niat shalat zuhur dan ashar dengan qashar sekaligus jama’ taqdim:
Ushalli fardhadh zuhri rak’ataini qashran majmuu’an bil ashri lillahi ta’aalaa
Artinya: “Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama’ dengan ashar karena Allah ta’aala”.
Niat shalat ashar dengan zuhur sekaligus dengan qashar sekaligus jama’ takhir:
Ushalli fardhadh zuhri rak’ataini qashran majmuu’an bil ashri lillahi ta’aalaa
Artinya: “Aku niat shalat zuhur dua rakaat qashar dan jama’ dengan ashar secara jama’ takhir karena Allah ta’aala”.
Niat shalat isya dan magrib dengan qashar sekaligus jama’ takhir:
Ushalli fardhadh ‘isyaa-i rak’ataini qashran majmuu’an bil maghribi lillahi ta’aalaa
Artinya: Aku niat shalat isya dua rakaat qashar dan jama’ dengan magrib karena Allah ta’aala”.[4]
Pelaksanaan shalat dengan cara jama’ taqdim harus memenuhi syarat:
1. Tartib, yakni melakukan kedua shalat itu sesuai dengan urutan waktunya. Waktu yang digunakan untuk jama’ taqdim adalah waktu shalat pertama, sedangkan shalat kedua merupakan turutan. Jadi, shalat pertama itulah semestinya yang didahulukan.
2. Niat shalat jama’ ketika takbiratul ihram shalat pertama atau setidaknya sebelum selesai shalat tersebut.
3. Wala’, artinya pelaksanaan secara beruntun, shalat kedua tidak berselang lama dari shalat pertama.
4. Keadaan sebagai musafir masih berlanjut ketika ia memulai shalat kedua.[5]
Apabila mengerjakan dengan jama’ takhir maka shalat zuhur dulu yang dikerjakan 2 rakaat baru shalat ashar 2 rakaat, begitu pula halnya dengan shalat magrib dan isya maka shalat magrib dulu yang dikerjakan 3 rakaat baru shalat isya 2 rakaat. Ini berdasarkan ijtihad dari para ulama yang berpedoman kepada hadits nabi, yang artinya ‘mulailah olehmu darimana Allah memulai”, maka yang mula datang menurut urutan adalah zuhur sebelum ashar dan magrib sebelum isya. Walaupun jama’ takhir, maka mulailah mengerjakan menurut asal datangnya.
Untuk jama’ takhir hanya dua syarat, yaitu:
a. Berniat pada waktu shalat pertama, akan menjama’kan shalat tersebut ke shalat kedua. Dengan demikian penundaan shalat tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran atau kelalaian.
b. Pelaksanaan kedua shalat itu dalam keadaan musafir. Bila safarnya putus sebelum kedua shalat itu selesai dilaksanakan maka shalat pertama menjadi shalat qadha.[6]
Shalat jama’ boleh juga dilakukan oleh orang yang tidak bepergian (mukim) pada waktu hujan atau ada hal-hal yang memaksakan kita untuk melakukan itu, sehingga kalau tidak dilaksanakan yang demikian, besar kemungkinan bisa menyebabkan tertinggalnya shalat. Misalnya kita sudah tidak tidur beberapa malam, karena menjaga orang yang sakit. Maka untuk lebih pulasnya tidur itu dibolehkan untuk menjama’ shalat. Nabi juga pernah menjama’ shalat tanpa ada suatu yang mencemaskan dan bukan pula karena hari hujan. Memang tidak dijelaskan dalam hadits itu, apa sebabnya nabi menjama’ tapi besar dugaan tentu ada yang menjadi penyebanya.[7]
Apabila mengerjakan shalat jama’ pada waktu mukim (menetap) maka harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat tersebut (jama’ taqdim), bila mengerjakan shalat zuhur dan ashar maka harus diwaktu zuhur dan bila menjama’ shalat isya harus pada waktu magrib.
Demikianlah penjelasan singkat tentang shalat qashar dan shalat jama’. Pembahasan lebih lengkap akan dibahas pada bagian selanjutnya dari makalah ini.
II. Sumber Hadits
Adapun hadits yang dipaparkan adalah yang terdapat dalam kitab Lu’luul Marjan no. 401 dan 410, sebagai berikut:
Artinya:
Hadits Anas, dimana ia berkata: “kami keluar dari Madinah menuju ke Mekkah bersama-sama dengan Nabi saw, lalu beliau mengerjakan shalat dua rakaat sehingga kami kembali ke Madinah” Yahya bin Ishaq ditanya: “Berapa lama kamu bermukim (tinggal) di Mekkah?” Ia menjawab: “Kami bermukim selama sepuluh hari”.[8]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “kitab mengqashar shalat” bab tentang menqashar dan berapa lama ia bisa mengqashar .
Artinya:
Hadits Anas bin Malik, dimana ia berkata: “Rasulullah saw apabila berangkat sebelum matahari tergelincir (ke barat), maka beliau mengakhirkan shalat dhuhur sampai waktu ashar, kemudian beliau turun lalu menjama’ kedua shalat itu. Apabila matahari sudah tergelincir sebelum berangkat, maka beliau mengerjakan shalat dhuhur, kemudian beliau naik kendaraan.[9]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “kitab mengqashar shalat” bab tentang apabila seorang berangkat sesudah matahari tergelincir maka ia harus mengerjakan shalat zuhur kemudian naik kendaraan.
III. Dalil-Dalil Penguat
Adapun dalil-dalil yang dapat dijadikan penguat dari permasalahan shalat qashar dan shalat jama’ ini, diantaranya:
  • Firman Allah dalam Al-qur’an surah An-Nisa: 101 ( 101: النسء )
Artinya:
Dan apabila kamu di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (An-Nisa: 101).[10]
Umar, Aisyah dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah telah mewajibkan shalat dalam perjalanan, melalui nabinya sebanyak dua rakaat. Allah, Rasulullah, dan ijma’ kaum muslimin tidak mengkhususkan perjalanan yang bagaimana, kecuali dengan nash atau ijma’ yang diyakini kebenarannya.
  • Hadits nabi yang menjabarkan tentang firman Allah diatas:
Artinya:
“Dari Ya’la bin Umayah, ia berkata: “Aku berkata kepada Umar bin Khattab (yaitu ayat yang mempunyai arti) tidak ada dosa atasmu, bahwa kamu memendekkan (mengqashar) shalat, jika kamu khawatir akan bahaya dari orang-orang kafir, maka sesungguhnya sekarang manusia berada dalam keamanan. “Berkata Umar: “Memang aku merasa heran diantara hal yang mengherankan ku”. Maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW dari hal yang demikian lalu beliau menjawab: “Itu adalah sedekah yang disedekahkan Allah kepadamu, maka terimalah sedekahnya itu” (HR. Jamaah, kecuali Bukhari).[11]
Deengan keterangan hadits diatas nyatalah bahwa mengqashar shalat dalam perjalanan adalah sebagai sunnah dan sebagai sedekah yang harus kita terima dengan segala senang hati dan tangan terbuka. Orang yang tidak mau atau menolak sedekah yang diberikan orang lain kepadanya, dianggap sebagai orang yang sombong, apalagi sedekah yang diberikan Allah.
Sebagai alasan bahwa Nabi dan sahabat-sahabatnya tidak pernah melaksanakan shalat secukupnya menurut shalat yang biasa dalam perjalanan ialah hadits yang tertera dibawah ini:
Artinya:
Terdapat dalam buku shahih Muslim, dari Ibnu Umar: “Aku telah menyertai (menemani) Nabi SAW dalam perjalanan, maka beliau tidak pernah melebihi shalatnya dari dua rakaat sampai beliau meninggal, aku telah menyertai Abu Bakar dalam perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua rakaat, sampai ia meninggal, aku telah menyertai Umar dalam perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua rakaat, sampai ia meninggal, aku telah menyertai Utsman dalam perjalanan, maka tidak pernah ia melebihi shalatnya dari dua rakaat sampai ia meninggal”.[12]
Ada pula hadits yang berasal dari Aisyah menurut riwayat yang menyatakan bahwa orang yang bepergian mengqashar shalatnya.
Artinya:
“Hadits Aisyah Ummul Mukminin, dimana ia berkata: “Allah mewajibkan shalat ketika mulai pertama diwajibkannya dua rakaat baik ditempat tinggalnya sendiri maupun dalam bepergian, kemudian shalat dalam bepergian itu ditetapkan (dua rakaat) dan shalat dalam tempat tinggalnya sendiri ditambah”.[13]
Al Bukhari mentakhrijkan hadits ini dalam “Kitab Shalat” bab tentang bagaimana shalat-shalat itu diwajibkan dalam Isra’ dan Mi’raj.
IV. Pendapat-Pendapat Para Ulama
Didalam pelaksanaan shalat Qashar dan shalat Jama’ ini terdapat berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh para ulama, diantaranya yaitu:
1. Tentang shalat qashar
a) Ibnul Qaiyim
Pendapat yang beliau kemukakan adalah bahwa:
“Jikalau bepergian, Rasulullah SAW selalu mengqashar shalat yang empat rakaat dan mengerjakannya hanya dua-dua rakaat, sampai beliau kembali ke Madinah, tidak ditemukan keterangan yang kuat bahwa beliau tetap melakukannya empat rakaat. Hal ini tidak menjadi perselisihan lagi bagi imam-imam walau mereka berlainan pendapat tentang hukum mengqashar. Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir menetapkan bahwa hukumnya wajib.[14]
b) Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah wajib, musafir yang tidak meringkas shalat yang empat rakaat, jika ia duduk pada rakaat kedua setelah tasyahud, maka shalatnya sah, hanya hukumnya makruh karena ia mengundurkan salam, sedang dua rakaat selanjutnya dianggap shalat. Tapi bila ia tidak duduk pada rakaat kedua itu maka shalatnya tidak sah. Dan jika berniat mukim 15 hari maka boleh mengqashar shalatnya. Pendapat ini juga sama dengan Al-Laits bin Sa’ad, Umar, Abdullah bin Umar, dan Ibnu Abbas. Ada juga riwayat yang menyatakan pendapat Said Ibnul Musaiyab juga sama dengan mazhab Hanafi ini.
c) Maliki (Mazhab Maliki)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah sunat muakkad dan lebih ta’kid lagi dari shalat berjamaah, sehingga apabila musafir tidak mendapatkan kawan sesama musafir untuk berjamaah, hendaklah ia bershalat secara perseorangan dengan mengqashar, dan makruh baginya mencukupkan empat rakaat dan bermakmum kepada orang yang mukim. Dan jika seseorang berniat hendak mukim lebih dari empat hari, harus mencukupkan shalat dan kalau kurang boleh mengqashar.
d) Ahmad bin Hambal (Mazhab Hanbali)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakan.
e) Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i)
Berpendapat bahwa hukum mengqashar shalat adalah jaiz atau boleh saja, hanya lebih baik daripada menyempurnakannya. Kalau memang sudah mencapai jarak boleh mengqashar.[15]
Mengenai jarak bolehnya mengqashar shalat dapat diberi penjelasan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri, katanya:
Artinya:
“Apabila Rasulullah SAW bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar shalat (diriwayatkan oleh Sa’id bin Mashur dan disebutkan oleh Hafizh dalam At-Takhlis, dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya.[16]
Satu farsakh itu sama dengan tiga mil atau 5541 meter sedang 1 mil sama dengan 1748 meter.
Tempat dibolehkannya memulai mengqashar shalat adalah setelah keluar dari rumah tempat kita tinggal (berdomisili). Dan bila seseorang telah kembali ke tempat tinggal asalnya atau telah berniat untuk menetap di tempat yang dituju itu, maka habislah baginya hukum qashar.
2. Tentang shalat jama’
Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat zuhur dan ashar secar taqdim pada waktu zuhur di Arafah, begitupun antara shalat magrib dan isya secara takhir diwaktu isya di mudzalifah, hukumnya sunnat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Artinya: “Demi zat yang tiada tuhan selain Dia, Rasulullah tidak pernah mengerjakan satu shalat pun kecuali pada tepat waktunya selain shalat yang beliau jamak (gabung), yakni zuhur dengan ashar di Arafah dan magrib dengan Isya di Mudzalifah. (Diriwayatkan oleh Syaikhan)
Dan menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya itu sewktu berhenti ataukah selagi dalam perjalanan.
Dalam kitab Al-Muwaththa’ Malik meriwayatkan dari Mu’adz bahwa:
Artinya:
“Pada suatu hari nabi saw mengundurkan shalat diwaktu perang Tabuk dan pergi keluar, lalu mengerjakan shalat zuhur dan ashar secara jama’, setelah itu beliau masuk dan kemudian beliau pergi lagi dan mengerjakan shalat magrib dan isya secara jama’ pula.[17]
Berkata Syafi’i: “Kata-kata pergi dan masuk itu menunjukkan bahwa Nabi saw sedang berhenti. Lalu Imam Syafi’i juga berkata: “Jika seseorang bershalat magrib dirumahnya dengan niat menjama’, kemudian ia pergi ke mesjid melakukan shalat isya juga boleh”. Dikatakan bahwa Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.
Ada pula hadits dari Ibnu Umar yang membolehkan menjama’ dua shalat dalam bepergian.
Artinya:
“Hadits Ibnu Umar ra, dimana ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw, jika tergesa-gesa dalam berangkat, beliau mengakhirkan shalat magrib sehingga beliau menjama’ (mengumpulkan) shalat magrib dan shalat isya.[18]
Kemudian tentang menjama’ diwaktu hujan. Dalam sunnahnya Al-Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, katanya: “Termasuk sunnah Nabi saw. menjama’ shalat magrib dengan isya, apabila hari hujan lebat. Dan Bukhari meriwayatkan pula bahwa.
Artinya:
“Nabi saw menjama’ shalat magrib dan isya disuatu malam yang berhujan lebat”.[19]
  • Kesimpulan pendapat mazhab-mazhab mengenai soal ini ialah sebagai berikut: Golongan Syafi’i membolehkan seorang mukmin menjama’ shalat zuhur dengan ashar dan magrib dengan isya secara taqdim saja, dengan syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih Turun ketika memulai shalat yang kedua.
  • Menurut Maliki, boleh menjama’ taqdim dalam mesjid antara magrib dengan isya disebabkan adanya hujan yang telah akan turun, juga boleh dikerjakan karena banyak lumpur ditengah jalan dan malam sangat gelap hingga menyukarkan orang untuk memakai sandal. Menjama’ shalat zuhur dengan ashar ini, dimakruhkan.
  • Menurut golongan Hanbali berpendapat bahwa boleh menjama’ magrib dengan isya saja, baik secara taqdim atau secara takhir, disebabkan adanya salju, lumpur, dingin yang amat sangat serta hujan yang membasahkan pakaian, dan khusus bagi orang yang tempatnya jauh dari mesjid.
Menjama’ sebab sakit atau uzur, menurut Imam Ahmad.,Imam Malik, Qadhie Husien, Al-Khaththabi dan Al Mutawali dari golongan Syafi’i membolehkan menjama’ baik taqdim atau taqdim dengan alasan karena kesukaran waktu itu lebih besar daripada kesukaran diwaktu hujan. Berkata Nawawi: “Dari segi alasan pendapat ini adalah kuat. Akan tetapi Syafi’i tidak mebenarkan jama’ karena sakit sebab menurutnya, illat yang menjadi alasan bolehnya jama’ itu adalah safar, jadi hanya terdapat dan berlaku bagi musafir.
Menurut ulama Hanbali boleh pula menjama’ baik taqdim atau takhir karena berbagai macam halangan dan juga sedang dalam ketakutan. Mereka membolehkan orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya buat mencuci kain setiap hendak bershalat.
Kemudian menjama’ sebab ada keperluan tapi tidak karena sakit atau sebab-sebab lainnya, dan asal saja hal itu tidak dijadikannya kebiasaan, ada beberapa imam yang membolehkannya antara lain Ibnu Sirin dan Asy-hab dari golongan Maliki, dan menurut Al-Khaththabi, Qaffal dan Asy-Syasil Kabir dari golongan Syafi’i, Ishal Marwazi, jema’ah ahli hadits, Ibnul Mundzir, Ibnu Abbas.
V. Analisis Pendapat Sendiri
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan para ulama, maka penulis mempunyai pendapatnya sendiri, yaitu:
Bagi orang yang sedang bepergian (musafir) boleh mengqashar shalat (menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat) dengan beberapa syarat:
1. Kepergiannya bukan dalam rangka kemaksiatan
Jadi, qashar hanya dapat dilakukan pada safar yang dibenarkan oleh syari’at, meliputi:
a) Safar yang wajib, seperti safar haji.
b) Safar yang mandub, seperti menziarahi makam Rasulullah.
c) Safar yang mubah seperti perjalanan niaga.
2. jarak kepergiannya harus mencapai 16 farsakh (80 Km, lebih 640 m) atau 48 mil yang sama dengan 76, 80 Km.
3. Shalat yang diqashar itu harus shalat yang rakaatnya 4, dan bukan shalat qadha’.
4. Berniat qashar bersamaan dengan mengucapkan takbiratul ihram.
5. Tidak boleh bermakmum kepada orang yang menetap (mukim).[20]
6. Perjalanan itu dilakukan menuju ke suatu tempat tertentu, orang yang berjalan tanpa tujuan, sekalipun jarak yang ditempuhnya jauh tidak dibenarkan mengqashar shalat.
7. Shalat itu dilakukan setelah musafir melampaui batas kota atau desa yang menjadi awal safarnya. Diriwayatkan dari Anas, katanya:
Artinya: “Saya shalat zuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan Zul Hulaifah dua rakaat” (Hadits Jama’ah)[21]
8. Shalat tersebut dilakukan sepenuhya dalam keadaan musafir. Bila safarnya putus, misalnya ditengah pelaksanaan shalat itu ia sampai ketujuan, maka ia harus menyempurnakannya menjadi empat rakaat.
Artinya: “Rasulullah bermukim di Mekkah selama delapan belas hari dan selama itu pula beliau mengerjakan shalat hanya dua rakaat-dua rakaat, dan sabdanya: “wahai penduduk negeri ini, shalat lah empat rakaat, karena kami adalah musafir”. (Hadits Abu Daud)[22]
9. mengetahui bahwa ia boleh mengqashar shalat tersebut.[23]
Bagi orang musafir boleh menjama’ antara shalat zuhur dengan ashar diwaktu mana saja ia kehendaki dengan jama’ taqdim atau jama’ takhir, dan begitu pula halnya antara menjama’ antara shalat magrib dengan isya.
Orang yang tidak sedang bepergian atau mukim diperbolehkan menjama’ antara dua shalat (zuhur dengan ashar, magrib dengan isya), akan tetapi harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalat tersebut dan boleh pula menjama’ pada waktu hari hujan, karena sakit karena ada suatu keperluan.
Dari penjelasan diatas, dan berdasarkan pendapat para ulama, maka penulis menyimpulkan bahwa orang yang sedang bepergian (musafir) diharuskan mengqashar dan menjama’ shalatnya. karena itu merupakan sedekah dan keringanan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 101.
VI. Penutup
Kesimpulan
Dari Uraian yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Shalat qashar adalah menyingkat shalat fardhu yang empat rakaat (zuhur, ashar, dan isya) menjadi dua rakaat, dan ini dikerjakan oleh orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).
Shalat jama’ adalah mengumpulkan dua shalat wajib dalam waktu yang sama, misal: shalat zuhur dengan ashar, dan shalat magrib dengan shalat isya bisa dengan jama’ takhir.
Shalat jama’ juga boleh dikerjakan oleh orang yang tidak sedang bepergian (mukim), karena hari hujan, karena sakit, atau karena sebab-sebab atau keperluan lain yang mendesak.
Hukum shalat qashar apabila dalam perjalanan adalah wajib, akan tetapi adapula ulama yang berpendapat hukumnya sunnat muakkad, jaiz (boleh), sedangkan shalat jama’ juga boleh. Dan mengqashar shalat itu merupakan sedekah yang dikaruniakan Allah kepada mu semua, maka terimalah sedekah-Nya itu.
Jarak bolehnya mengqashar adalah 1 farsakh yang sama dengan 3 mil dan memulai mengqashar adalah apabila telah keluar dari rumah tempat tinggal.
Demikianlah yang dapat disimpulkan semoga kita dapat mengerjakan shalat qashar dan shalat jama’ ini apabila kita bepergian kesuatu tempat (musafir) karena ini merupakan sebuah keringanan dari Allah bagi hamba-Nya.
Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Shalat Adalah Doa

Shalat adalah doa si hamba kepada Khaliq-nya, yakni Allah SWT. Shalat berarti juga pertemuan antara hamba dengan Tuhan. Tempat pertemuan itu ada di dalam hati. Jika hati tertutup, tidak mengindahkan dan tidak peduli, ataupun mati, maka shalat yang dilakukan tidak memberi manfaat kepada dirinya. Shalat yang tidak khusyuk itu tidak mendatangkan faedah kepada diri jasmani, karena hati adalah Zat untuk badan. Anggota badan lainnya yang bertindak dalam shalat itu bergantung kepadanya. Nabi SAW telah bersabda :
“Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati.”
Jelaslah, jika hati seseorang sedang sakit, yakni rusak, maka akan rusaklah seluruh anggota yang lain. Bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa shalat seseorang itu baik, jika hatinya tidak baik, yakni rusak ?
Shalat yang zahir dilakukan pada waktu-waktu tertentu, lima kali sehari-semalam. Tempat paling baik untuk melakukan shalat ialah di masjid, dan dilakukan dengan berjamaah, karena shalat berjamaah banyak manfaatnya. Allah memberikan pahala yang berlipat ganda untuk mereka yang mengerjakan shalat berjamaah. Selain itu, dia dapat berdoa bersama-sama, yang rahasianya sangat nyata bagi orang yang mengerti.
Tetapi banyak orang tidak memperhatikan masalah shalat berjamaah ini, padahal dia dapat melakukannya. Seolah-olah dia tidak mementingkan janji Allah yang akan memberikan pahalanya berlipat ganda; seolah-olah dia tidak mengutamakan anjuran Allah supaya berdo’a dengan berjamaah; seolah-olah dia tidak mengindahkan perintah syariat supaya selalu mendirikan shalat dengan berjamaah. Jika dia mengingkari perintah ini, berdosalah dia, karena itu sama artinya dengan seperti dia mengingkari perintah Tuhan. Orang yang jahil mungkin dimaafkan, tetapi hati-hatilah dari perintah shalat berjamaah ini ! Berilah perhatian kepadanya, moga-moga Allah merahmati kita !
Shalat Dari Segi Ruhaniyah
Shalat dari segi ruhaniah atau shalat dari kacamata ruhani tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara ruhaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat secara ruhaniah terletak di dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya ruhaniah yang berzikir dan membaca Asma’ullah (nama-nama Allah) dalam bahasa alam ruhaniah (alam batin). Imam dalam shalat ini adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat dan kiblatnya adalah Allah.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayat untuk ibadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai puncak ma’rifah dengan Allah SWT, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. Ini berlaku sesudah semua shalat-shalatnya yang fardhu dan sunnah sudah sempurna dijalankannya. Jangan diartikan apabila mereka berada dalam keadaan seperti ini, mereka tidak perlu shalat lagi seperti orang lain. Malah kadang-kadang dalam shalat itulah mereka ber-fana’ dalam munajatnya sehingga mengambil masa yang panjang.
Pada tingkatan itu tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, dan sebagainya. Si hamba berbincang-bincang dengan Allah, sesuai dengan firman-Nya :
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah: 5)
Firman Allah itu ditafsirkan sebagai tanda tingginya kesadaran “Insan Kamil”, yaitu mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman ruhani sehingga tenggelam dalam lautan Tauhid atau Keesaan Allah dan ‘berpadu’ dengan-Nya.  Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang telah mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan itu. Namun, mereka pun sering tutup mulut, tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang disimpan di lubuk hatinya oleh Allah SWT.
Setelah ibadah shalat secara lahir dan batin berpadu, berharmoni dan berdekatan, maka sempurnalah shalat seorang hamba dan ganjarannya sangat besar. Hati dan ruh seperti yang digambarkan diatas, membawa seorang dekat dan masuk ke Hadhirat Allah SWT. Hatinya ‘berpadu’ dengan Allah, dan jasmaninya atau keduniaannya mencapai tingkat tertinggi. Dalam alam nyata ia menjadi manusia atau hamba Allah yang wara’ dan alim. Dalam alam ruhani ia jadi ahli Ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah SWT.
Jika ibadah zahir tidak bersatu atau tidak sejiwa dengan ibadah batin, maka ibadah tersebut belum sempurna dan baik. Bila ibadah zahir yang dilakukan seseorang baik, ibadah itu sebenarnya hanya mengalami kemajuan dalam kacamata dunia, yaitu dari segi pandangan manusia. Ganjaran dunia itu tidak akan membawa seseorang dekat dengan Allah dan ‘berpadu’ dengan-Nya, wallahu-a’lam.
Shalat Adalah Perjalanan Menuju Allah Yang Maha Tinggi
Ketika kita mendirikan shalat berarti kita sedang menuju ke pintu Allah. Shalat diibaratkan sebagai suatu perjalanan ruhani, karena semua gerak-gerik kita di dalam shalat dikontrol oleh niat kita yang dilafalkan ketika memulai shalat. Karena itu, kita tidak boleh melakukan suatu gerakan atau ingatan lain selain apa yang kita ucapkan di dalam shalat itu. Itulah dasar shalat. Shalat harus dilakukan dengan khusyuk, tenang, dan menghadirkan hati dan pikiran. Akan tetapi, kebanyakan orang dalam melakukan shalat, hanya jasadnya saja yang berdiri tegak, rukuk, dan bersujud, sedang hatinya lalai dan pikirannya bercabang-cabang. Apakah itu dapat disebut shalat ? Cobalah cari jawabannya sendiri !
Dengan mendirikan shalat, kita telah menempuh setengah perjalanan menuju Allah. Dan ditambah dengan puasa, maka kita telah sampai di pintu Allah. Apabila dilengkapi dengan sedekah, maka kita telah memasuki rumah-Nya.
Dalam perjalanan kita menuju Allah dengan shalat, puasa, sedekah, dan amalan lainnya, hendaknya kita memohon bantuan kepada Allah agar Dia mengaruniakan kesabaran dan kekuatan, karena beribadah kepada Allah merupakan ujian yang berat, meskipun secara sepintas tampak mudah.
Mendirikan shalat juga berarti suatu menjalin hubungan atau silah dengan Allah. Orang yang menghadapkan wajahnya kepada Allah di dalam shalat, harus berkonsentrasi penuh kepada-Nya. Dia harus melepas seluruh ruh dan jiwanya dari gayrullah, yakni selain Allah. Dalam shalat menghadap Allah, pikirannya tidak boleh terbagi-bagi kepada hal-hal lain selain Allah, yakni kepada makhluk dan kepada Khaliq. Dia harus menghilangkan segala pikiran tentang makhluk, yakni infisal, dan memusatkan pikirannya kepada Khaliq, yakni ittisal. Inilah shalat yang dilakukan oleh golongan ahlullah.
Adapun shalat yang dilakukan oleh orang-orang awam, dirumuskan oleh mereka sebagai surga di hati sebelah kanan dan neraka di sebelah kiri, sedangkan sirat (titian) berada di depan, dan Allah sedang memperhatikan semua gerak-gerik hati dan anggota badan. Bila kita merasakan hal itu, apakah mungkin kita menyia-nyiakan shalat dengan hati yang lalai dan pikiran yang menerawang ?!
Shalat seorang pecinta (Muhibb) ialah dengan melepaskan diri dan hatinya dari makhluk seraya bersatu dengan Khaliq. Itulah shalat yang sebenar-benarnya shalat.
Wabillahi Taufik Wal Hidayah Wal’Inayah Wassallamualaikum Warahmatullahi Wa’baraakatu